Jumat, 19 Januari 2018

Filsafat Idealisme

PENDIDIKAN FILSAFAT IDEALISME

Silvi Restu Suseno

A. Pengartian Filsafat Idealisme
Secara harfiah, fisafat berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan atau kebenaran. Dari penjabaran tersebut dapat dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Filsafat juga sering dimaknai sebagai pandangan hidup terhadap seluruh aspek kehidupan.
Aspek kehidupan yang berkaitan erat dengan filsafat, salah satunya adalan pendidikan. Dalam dunia pendidikan, filsafat berperan dalam menentukan arah dan tujuan proses pendidikan secara umum dan khususnya pendidikan di sekolah.
Fisafat pendidikan dapat diklasifikasikan berdasarkan hasil pemikiran para filsuf secara mendasar (fundamental), yang akhirnya melahirkan aliran-aliran filsafat seperti aliran idelisme; aliran realisme; aliran essensialisme; dan sebagainya. Pembahasan ini, akan memaparkan pandangan filsafat aliran idealisme dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia.
Idealisme merupakan aliran filsafat yang memiliki peranan penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Aliran ini berasal dari seorang filsuf Yunani bernama Plato pada abad ke IV Sebelum Masehi. Menurut Plato, alam cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya, adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam ide. [1]
Idealisme merupakan aliran yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide, realita adalah perwujudan dari sebuah ide. Aliran ini adalah aliran yang menekankan pentingnya keunggulan pikiran (mind), roh (soul), atau jiwa (spirit), daripada hal-hal yang bersifat kebendaan atau material.
Idealisme mempunyai pendirian bahwa kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi sebagaimana gagasan, ide, atau jiwa. Dalam pandangan idealisme, alam nyata ini tergantung pada jiwa universal atau Tuhan atau berarti pula bahwa alam adalah alam dari ekspresi dari daya jiwa tersebut. [2]
Pandangan aliran ini adalah bahwa semua yang dilakukan oleh manusia, tidak selalu harus dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi harus didasari prinsip kejiwaan atau kerohanian (ide). Oleh karena itu, aliran ini sangat menjunjung tinggi aspek perasaan dan daya imajinasi manusia sebagai sumber pengetahuan.
Jadi, idealisme merupakan aliran yang berpandangan bahwa ide, gagasan, atau jiwa adalah hal yang paling tinggi kedudukannya. Ide-ide tersebut ialah realitas sesungguhnya, sedangkan segala yang dapat dilihat dan dirasakan indra manusia adalah manifestasi dan imitasi dari ide-ide tersebut.

B. Pandangan Filosofis Idealisme
Idealisme muncul berdasarkan tafsiran metafisika para filsuf. Awalnya manusia menafsirkan alam ini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supranatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.[3]
         Idealisme termasuk aliran filsafat pada abad modern. Istilah ini pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibnez pada mula awal abad ke-18. Leibniz memakai dan menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato. Idealisme ini merupakan kunci masuk hakikat realitas.
Idealisme diambil dari kata ide yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme dapat diartikan sebagai suatu paham atau aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Menurut paham ini, objek-objek fisik tidak dapat terlepas dari jiwa.
Ada pendapat lain yang mengatakan, idealisme berasal dari bahasa latin idea, yaitu gagasan atau ide. Sesuai asal katanya menekankan gagasan, ide, isi pikiran, dan buah mental. Terdapat aliran filsafat yang beranggapan, yang ada yang sesungguhnya adalah yang ada dalam budi, yang hadir dalam mental. Karena hanya yang berbeda secara  demikian yang sempurna, utuh, tetap, tidak berubah dan jelas. Itu semua adalah idealisme.[4]
Idealisme mempunyai pandangan bahwa kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide-ide. Alam fisik ini tergantung dari jiwa universal atau Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adalah ekspresi dari jiwa tersebut.
Inti dari Idealisme adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran, akal-pikir atau kedirian daripada sebagai suatu penekanan pada objek-objek & daya-daya material. Idealisme menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi, & bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal-pikir atau jiwa (mind).

1.    Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah :
a)  metafisika-idealisme: secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih berperan.
b)  humanologi-idealisme: jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih.
c)  epistimologi-idealisme: pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang.
d)  aksiologi-idealisme: kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.[5]
Ide yang berpikir sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang bertentangan, anti tesis. Adanya tesis dan anti tesisnya itu menimbulkan sintesis dan ini merupakan tesis baru yang dengan sendirinya menimbulkan anti tesisnya dan munculnya sintesis baru pula.
Demikian proses roh atau ide yang disebut Hegel dialektika. Proses itulah yang menjadi keterangan untuk segala kejadian. Proses itu berlaku menurut hukum akal.[6]
Jadi semua yang nyata bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat nyata. Maksudnya luasnya pemikiran rasional sama dengan luasnya realitas, sedangkan realitas menurut Hegel adalah proses pemikiran (ide).

2.    Prinsip-prisip Idealisme :
a)  Menurut idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide (spirit). Menurut penganut idealisme, dunia beserta bagian-bagianya harus dipandang sebagai suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling berhubungan. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan bersifat spiritual.
b)  Realitas atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.
c)  Idealisme berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.
d)   Idealisme berorientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada jiwa, spiritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma yang mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai-nilai idealisme bercorak spiritual, maka kebanyaakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima Causa dari kejadian alam semesta ini.[7]

3.    Tokoh-tokoh Aliran Idealisme :
a)  Plato (477-347) Sebelum Masehi.
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak diantara gambaran asli dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Dan pada dasarnya sesuatu itu dapat dipikirkan oleh akal, dan yang berkaitan dengan ide atau gagasan. 
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang dikenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Menurut Plato kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasi dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
b)  Immanuel Kant (1724-1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis transedental atau idealis kritis dimana paham ini menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan watak adalah forum intuisi kita.Menurut Khant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi, bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman. Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
c)  Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari pemikiran filsafat  Pascal antara lain:
Pengetahuan diperoleh melalui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan hati. Ketika akal dengan semua perangkatnya tidak dapat lagi mencapai suatu aspek maka hatilah yang akan berperan. Oleh karna itu, akal dan hati saling berhubungan satu sama lain. Apabila salah satunya tidak berfungsi dengan baik, maka dalam memperoleh suatu pengetahuan itu juga akan mengalami kendala.Manusia besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal, manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten. Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau fikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat abstrak.
Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman. Sehebat apapun manusia berfikir ia tidak akan mendapat kepuasan karena manusia mempunyai logika yang kemampuannya melebihi dari logika itu sendiri. Dalan mencari Tuhan Pascal tidak akan menggunakan metafisika, karena selain bukan termasuk geometri tapi juga metafisika tidak akan mampu. Maka solusinya ialah mengembalikan persoalan ke Tuhan pada jiwa. Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna. Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangnnya, tidak terkecuali filsafat.
d)  J. G. Fichte (1762-1914) Sebelum Masehi
Ia adalah seorang filsuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (Ajaran Ilmu Pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindera objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya unuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya. Hal tersebut bisa dicontohkan seperti, ketika kita melihat sebuah meja dengan mata kita, maka secara tidak langsung akal (rasio) kita bisa menangkap bahwa bentuk meja itu seperti yang kita lihat (bebentuk bulat, persegi panjang, dll). Dengan adanya anggapan itulah akhirnya manusia bisa mewujudkan dalam bentuk yang nyata.
e)  F. W. S. Schelling (1775-1854 M)
Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Univesitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis Jerman yang telah memutlakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan  Idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau indefernsi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang objektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alam yang subjektif dari subjek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi sumber roh (subjek) dan alam (objek) yang subjektif dan objektif, yang sadar dan tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang objektif dan bukan pula yang subjektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak. Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sabagai identitas murni atau indeferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak dari perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduannya saling barkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan antara keduannya.
f)   G. W. F. Hegel (1770-1031 M)
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya, roh itu dalam intinya ide (befikir).[8]
  
C. Implikasi Filsafat Idealisme dalam Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
Menurut para filsuf idealisme, pendidikan bertujuan untuk membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi (self) siswa. Mengingat bakat manusia berbeda-beda maka pendidikan yang diberikan kepada setiap orang harus sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam semangat persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntut hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
  
2.    Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Pendidikan liberal dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral. Pendidikan praktis dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa actual.[9]

3.    Metode Pendidikan
Tidak cukup mengajar siswa tentang bagaimana berfikir, sangat penting bahwa apa yang siswa pikirkan menjadi kenyataan dalam perbuatan. Metode mangajar hendaknya mendorong siswa untuk memperluas cakrawala, mendorong berpikir reflektif, mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan keterampilan-keterampilan berfikir logis, memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosial, meningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran, dan mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban manusia.

4.    Peran Guru
Para filsuf idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para guru. Keunggulan harus ada pada guru, baik secara moral maupun intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di dalam sistem sekolah selain guru. Guru hendaknya “bekerja sama dengan alam dalam proses menggabungkan manusia dan bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para siswa”.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme memperoleh pendidikan dengan menggunakan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah kelas, tidak mengawasi satu persatu muridnya atau memerhatikan tingkah lakunya. [10]
DePorter (2007) menyatakan, kuncinya adalah membangun ikatan emosional, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar.[11]
Seorang guru harus mampu masuk ke dalam dunia peserta didik jika diperlukan guru bisa menjalin komunikasi di luar sekolah. Oleh karena itu, guru sebagai pengajar yang baik harus dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga siswa menjadi tertarik dengan yang guru ajarkan.
Model pemikiran filsafat idealisme yang menganggap anak didik merupakan makhluk spiritual dan guru yang juga menganut paham idealisme menjadikan sistem pengajaran di kelas biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai:
a)     Guru adalah panutan bagi peserta didik
b)     Guru harus berkompeten dalam suatu ilmu pengetahuan lebih dari peserta didiknya
c)     Guru haruslah menguasai teknik mengajar dengan baik
d)     Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh peserta didik
e)     Guru menjadi teman untuk peserta didik
f)      Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan motivasi belajar peserta didik
g)     Guru harus dapat menjadi idola bagi peserta didik
h)     Guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan peserta didik
i)      Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif
j)      Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya
k)     Tidak hanya peserta didik, guru pun harus ikut belajar sebagaimana peserta didik belajar
l)      Guru harus merasa bahagia jika peserta didiknya berhasil
m)   Guru haruslah bersikap demokratis dan mengembangkan demokrasi
n)     Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.

5.    Peran Siswa
Siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya (Edward J. Power:1982). Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual.[12]

D. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Idealisme merupakan salah satu aliran filsafat yang mempunyai paham bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh.
Implikasi filsafat idealisme dalam pendidikan adalah sebagai tujuan untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial. Kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan. Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain). Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya. Pendidik bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.

Daftar Pustaka

Anonim. 2015. Aliran filsafat idealisme dan implikasinya terhadap pendidikan. [Online]. Tersedia: http://karyailmu99.blogspot.co.id/2015/12/aliran-filsafat-idealisme-dan.html. [24 September 2017].
DePorter, B., dkk. 2007. Quantum teaching mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: Kaifa.
Karyadi, H. 2013. Filsafat pendidikan : idealisme. [Online]. Tersedia:http://hidayatkaryadi.blogspot.co.id/2013/12/idealisme.html. [24 September 2017].

Suriasumantri, J. S. 2001. Filsafat ilmu sebuah pengantar popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar