UJIAN
TENGAH SEMESTER
Mata
kuliah : Pengembangan Keilmuan Semantik
Dosen
: Prof. Dr. Ilzamuddin Ma’mur, M.MA.
Hari/tanggal
: Kamis, 19 April 2012
Nama : Silvi Restu Suseno
NIM : 2322110019
Kelas/semester : PBI/III
JAWABAN:
1.
Soal nomor 1
Relevansi
konsep “semiotic triangle” Richards
dan Ogden dengan ilmu semantik adalah sebagai berikut:
Hubungannya adalah symbol melambangkan thought itu, sedangkan thought
merujuk pada referent. Sebuah kata mengandung
makna atau konsep. Contohnya kata <kursi>, mengandung konsep kursi pada
umumnya, kursi apa saja atau semua jenis kursi. Tetapi dalam dunia nyata
kursi-kursi yang dirujuk bersifat tertentu, dengan kata lain dalam kenyataan
ada berbagai macam kursi yang ukuran, bentuk, dan bahannya tidak sama. Hubungan
antara kata <kursi> sebagai simbol dengan maknanya atau konsepnya adalah
bersifat langsung. Begitu juga hubungan antara makna kursi tertentu di dunia
nyata juga bersifat langsung tetapi hubungan antara kata <kursi> dengan
sebuah kursi di dunia nyata tidak bersifat langsung, maka itu, dalam bagan di
atas hubungan antara kata dengan referennya ditandai dengan garis
terputus-putus.
Pandangan Nick Riemer
terhadap konsep segitiga semiotik Richards dan Ogden adalah bagian teratas dari
segitiga semiotik tersebut adalah disebut ‘berpikir’ dan menimbulkan fakta
bahwa bahasa berasal dari manusia dan berasal dari proses berpikir. Tetapi
menurut Riemer, ‘berpikir’ dapat menjadi sesuatu atau hal yang menyesatkan
untuk proses ini. Ada dua alasan: pertama, proses tidak sadar atau spontan,
terkadang kita sadar dan memikirkan apa yang akan kita katakan tetapi kita
lebih sering berbicara dengan spontan tanpa kita menyadari atau berpikir lebih
dahulu. Alasan kedua, berbicara tanpa menggunakan emosi atau perasaan hanya
menggunakan pikiran kurang baik untuk jiwa kita. Yang paling benar adalah
berbicara selain berdasarkan pikiran harus juga berdasarkan emosi dan perasaan.
Untuk menghapus hal yang tidak diinginkan, implikasinya bahwa proses mental
yang menyebabkan berbicara adalah murni sadar dan non-emosional, kita dapat
mengganti istilah ‘berpikir’ dalam diagram Ogden dan Richards dengan istilah
yang lebih netral yaitu ‘psikologi’.
2.
Soal
nomor 2
Walaupun sama-sama bertalian dengan makna, fokus dan
objek kajian ilmu semantik dan ilmu pragmatik berbeda. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda-beda. Yule (1996), misalnya,
menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna
pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang,
melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang
mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang
terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995) menyebut dua kecenderungan dalam
pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang
sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning);
dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik
dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995), dengan
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi
antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan
linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan
pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in
interaction). Leech (1983, dalam Gunarwan,
2004) melihat pragmatik sebagai bidang kajian
dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia
sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik;
pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan
komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi (Subukti, 2006).
Leech
(1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk
apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu
tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di
mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral
di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di
bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama
dan prinsip kesantunan.
Sedangkan, makna yang dikaji semantik adalah makna dengan hubungan antara tanda
(lambang) dengan objek yang diacu. Jadi, kajian semantik dan pragmatik memang
serupa tatapi berbeda, bedanya kalau semantik berhubungan dengan makna tanda,
sedangkan pragmatik berhubungan dengan mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk
apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu
tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di
mana, bilamana, bagaimana. Contoh:
“sudah hampir pukul dua belas”, bila
diucapkan oleh seorang Ibu asrama mahasiswa puteri pada malam hari kepada tamu
laki-laki, bermakna menyuruh tamu itu pulang; dan bila diucapkan oleh kiayi di
pesantren kepada para santri di siang hari, bermakna para santri untuk bersiap-siap
sholat dzuhur; bla diucapkan seorang pegawai kantor kepada rekannya di siang
hari akan bermakna untuk memberitahukan pada rekannya sebentar lagi waktunya
istirahat. Jadi, dari satu kalimat saja dapat mengandung makna yang
berbeda-beda sesuai dengan situasi, kondisi, dan siapa penuturnya.
3.
Soal nomor 3
Analisis
semasiologis dan onomasiologis diperlukan dalam ilmu semantik,
dijabarkan sebagai berikut, setiap ragam bahasa dipergunakan di suatu daerah
tertentu dan lambat laun terbentuklah analisir kebahasaan yang berbeda-beda
pula, seperti dalam lafal, tata bahasa, dan tata arti dan setiap ragam
mempergunakan salah satu bentuk khusus. Pada tingkatan dialek perbedaan
tersebut pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu perbedaan
fonetik, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis,
dan perbedaan morfologis.
Perbedaan semantik, yaitu dengan
terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk.
Dalam peristiwa tersebut biasanya juga terjadi geseran makna kata itu. Geseran
tersebut bertalian dengan corak yaitu (a) pemberian nama yang berbeda untuk
yang diberi lambang yang sama di beberapa tampat yang berbeda, seperti turi dan turuy untuk ‘turi’ atau
dapat disebut juga perbedaan onomasiologis. Perbedaan onomasiologis yang
menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di
beberapa tempat yang berbeda. (b) pemberian nama yang sama untuk hal yang
berbeda ditempat yang berbeda., misalnya ‘calingcing’
dan ‘calingcing’ atau dapat disebut
juga perbedaan semasiologi yang merupakan
kebalikan dari perbedaan onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk
konsep yang berbeda. Jadi, sangat jelas kedua istilah ini sangat diperlukan
dalam ilmu dan kajian semantik.
4.
Soal nomor 5
Relevansi teori “speech act” dengan ilmu semantik
dijabarkan sebagai berikut, Austin
berpendapat bahwa mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu. Bahasa dapat
digunakan untuk membuat sesuatu kejadian. Oleh karena itu, kebanyakan ucapan
memiliki daya ilokusi. Austin juga memberikan perbedaan antara perbuatan
lokusi, ilokusi, dan perlokusi sebagai berikut :
a.
Lokusi dari suatu ucapan ialah makna dasar dengan referensi dari ucapan itu.
b.
Ilokusi dari suatu ucapan ialah daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai
suatu perintah, ejekan, keluhan, pujian dan sebagainya.
c.
Perlokusi dari suatu ucapan adalah hasil dari apa yang diucapkan pada
pendengarnya.
Untuk
memahami tindak lokusi, ilokusi, perlokusi di bawah ini adalah contohnya:
“bajumu
cantik sekali” dari sudut lokusi kalimat ini menyatakan penggambaran keadaan
baju pendengar dalam keadaan cantik sekali, dipandang dari sudut ilokusinya
ucapan itu merupakan pujian bila memang benar baju pendengar cantik sekali,
tetapi bila sebaliknya (bajunya jelek) maka ucapan itu menjadi ejekan atau
pernyataan yang ironis. Perlokusi dari ucapan tersebut membuat pendengarnya
gembira (untuk pujian yang mungkin diikuti dengan “ucapan terima kasih”) atau
membuat pendengarnya sedih (untuk ejekan yang mungkin diikuti ucapan “ya
begitulah”).Ucapan-ucapan dalam pertuturan dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Ucapan yang mengandung kata yang menggambarkan daya ilokusinya
disebut ucapan atau pertuturan langsung. Pengetahuan untuk menentukan makna
disebut kaidah pertuturan.
Searle
mengklasifikasikan tindak tutur berdasarkan pada maksud
penutur ketika berbicara ke dalam 5 kelompok besar, yaitu :
a.
Representatif : Tindak tutur ini mempunyai
fungsi memberi tahu orang- orang
mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan,, meminta,
mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
b.
Komisif : Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu
misalnya, janji dan ancaman.
c.
Direktif : Tindak tutur ini berfungsi
untuk membuat penutur melakukan sesuatu seperti saran, permintaan, dan
perintah.
d.
Ekspresif : Tindak tutur ini berfungsi mengekspresikan perasaan dan sikap
mengenai keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan
terimakasih.
e.
Deklaratif : Tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan
hubungan misalnya ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ‘Anda
dipecat’, atau menikahi seseorang dengan mengatakan ‘Saya bersedia’.
Jadi, relevansi tindak tutur dengan
ilmu semantik adalah setiap apa yang diucapkan memiliki tujuan untuk dilakukan
dan di dalam tuturan itu terdiri dari simbol /lambang dan makna yang merupakan
bagian dari ilmu semantik.
5.
Soal nomor 6
Dalam
ilmu semantik
teori Grice tentang “conversational maxim”
perlu dibahas karena secara umum dapat dikatakan bahwa semantik berhubungan
dengan makna yang didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan
dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya dan
pragmatik berhubungan dengan makna yang didefinisikan dengan hubungannya
dengan penutur atau pemakai bahasa.
Biasanya, kalau kita mengatakan sesuatu, terutama dalam percakapan, apa yang
kita katakan mempunyai makna lebih dari kalimat itu. Contoh seperti berikut:
A
: Kamu masih di sini.
B
: Bis ke Bandung
baru saja pergi.
Jika
diamati kedua kalimat percakapan
tersebut, makna kalimat A terasa agak aneh. Mengapa A menyatakan sesuatu yang
kebenarannya amat jelas ? (maksudnya jelas bahwa A melihat B berada di tempat
itu, tentu hal ini tidak perlu dipertanyakan). Begitu juga halnya dengan si B
menyebutkan tentang bis yang tidak dipertanyakan oleh si A. Dalam hal ini tentu
ada kaidah yang memungkinkan kita menentukan makna apa yang ada di balik apa
yang diucapkan dalam percakapan itu. Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik kepada peserta penutur,
komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan kaidah-kaidah yang harus
ditaati oleh pembicara agar percakapan dapat berjalan dengan lancar.
Kaidah-kaidah ini dalam kajian pragmatik, dikenal sebagai prinsip kerja sama.
Grice
mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seorang pembicara harus
mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta
pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual
maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi.
Kaidah
percakapan yang dikemukakan oleh Grice sebagai berikut :
a. Cooperative
principle (prinsip
kooperatif).
Di dalam percakapan, sumbangkanlah apa yang diperlukan,
pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.
b. Empat maxim of
conversation ( empat maksim percakapan ) :
1. Maksim
kualitas (maxim of quality) ; dalam
percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar.
2.
Maksim
kuantitas (maxim of quantity) ; berilah keterangan secukupnya dan jangan
mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan.
3.
Maksim
relevan (maxim of relevance) ;
katakanlah hanya apa yang berguna atau relevan.
Maksim
cara berbicara (maxim of manner) ; jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas,
jangan mengatakan sesuatu yang ambigu, berbicaralah dengan singkat dan secara
khusus.
Salah
satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa
pembicaranya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Jika
terdapat tanda-tanda bahwa satu maksim dilanggar, maka kita harus
memutuskan bahwa ada sesuatu di balik apa yang dikatakan. Dapat
disimpulkan bahwa, penuturlah yang
menyampaikan makna lewat implikatur, dan pendengarlah yang mengenali
makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar