Selasa, 01 Mei 2012

JAWABAN UTS SEMANTIK


UJIAN TENGAH SEMESTER
Mata kuliah : Pengembangan Keilmuan Semantik
Dosen : Prof. Dr. Ilzamuddin Ma’mur, M.MA.
Hari/tanggal : Kamis, 19 April 2012


Nama : Silvi Restu Suseno
NIM : 2322110019
Kelas/semester : PBI/III

JAWABAN:
1.      Soal nomor 1
Relevansi konsep “semiotic triangle” Richards dan Ogden dengan ilmu semantik adalah sebagai berikut:                         
Hubungannya adalah symbol melambangkan thought itu, sedangkan thought merujuk pada referent. Sebuah kata mengandung makna atau konsep. Contohnya kata <kursi>, mengandung konsep kursi pada umumnya, kursi apa saja atau semua jenis kursi. Tetapi dalam dunia nyata kursi-kursi yang dirujuk bersifat tertentu, dengan kata lain dalam kenyataan ada berbagai macam kursi yang ukuran, bentuk, dan bahannya tidak sama. Hubungan antara kata <kursi> sebagai simbol dengan maknanya atau konsepnya adalah bersifat langsung. Begitu juga hubungan antara makna kursi tertentu di dunia nyata juga bersifat langsung tetapi hubungan antara kata <kursi> dengan sebuah kursi di dunia nyata tidak bersifat langsung, maka itu, dalam bagan di atas hubungan antara kata dengan referennya ditandai dengan garis terputus-putus.
Pandangan Nick Riemer terhadap konsep segitiga semiotik Richards dan Ogden adalah bagian teratas dari segitiga semiotik tersebut adalah disebut ‘berpikir’ dan menimbulkan fakta bahwa bahasa berasal dari manusia dan berasal dari proses berpikir. Tetapi menurut Riemer, ‘berpikir’ dapat menjadi sesuatu atau hal yang menyesatkan untuk proses ini. Ada dua alasan: pertama, proses tidak sadar atau spontan, terkadang kita sadar dan memikirkan apa yang akan kita katakan tetapi kita lebih sering berbicara dengan spontan tanpa kita menyadari atau berpikir lebih dahulu. Alasan kedua, berbicara tanpa menggunakan emosi atau perasaan hanya menggunakan pikiran kurang baik untuk jiwa kita. Yang paling benar adalah berbicara selain berdasarkan pikiran harus juga berdasarkan emosi dan perasaan. Untuk menghapus hal yang tidak diinginkan, implikasinya bahwa proses mental yang menyebabkan berbicara adalah murni sadar dan non-emosional, kita dapat mengganti istilah ‘berpikir’ dalam diagram Ogden dan Richards dengan istilah yang lebih netral yaitu ‘psikologi’.
2.      Soal nomor 2
Walaupun sama-sama bertalian dengan makna, fokus dan objek kajian ilmu semantik dan ilmu pragmatik berbeda. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda-beda. Yule (1996), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).  Leech (1983, dalam Gunarwan, 2004) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi (Subukti, 2006).
Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Sedangkan, makna yang dikaji semantik adalah makna dengan hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu. Jadi, kajian semantik dan pragmatik memang serupa tatapi berbeda, bedanya kalau semantik berhubungan dengan makna tanda, sedangkan pragmatik berhubungan dengan mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Contoh:
“sudah hampir pukul dua belas”, bila diucapkan oleh seorang Ibu asrama mahasiswa puteri pada malam hari kepada tamu laki-laki, bermakna menyuruh tamu itu pulang; dan bila diucapkan oleh kiayi di pesantren kepada para santri di siang hari, bermakna para santri untuk bersiap-siap sholat dzuhur; bla diucapkan seorang pegawai kantor kepada rekannya di siang hari akan bermakna untuk memberitahukan pada rekannya sebentar lagi waktunya istirahat. Jadi, dari satu kalimat saja dapat mengandung makna yang berbeda-beda sesuai dengan situasi, kondisi, dan siapa penuturnya.
3.      Soal nomor 3
Analisis semasiologis dan onomasiologis diperlukan dalam ilmu semantik, dijabarkan sebagai berikut, setiap ragam bahasa dipergunakan di suatu daerah tertentu dan lambat laun terbentuklah analisir kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata bahasa, dan tata arti dan setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus. Pada tingkatan dialek perbedaan tersebut pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu perbedaan fonetik, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis, dan perbedaan morfologis.
Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya juga terjadi geseran makna kata itu. Geseran tersebut bertalian dengan corak yaitu (a) pemberian nama yang berbeda untuk yang diberi lambang yang sama di beberapa tampat yang berbeda, seperti turi dan turuy untuk ‘turi’ atau dapat disebut juga perbedaan onomasiologis. Perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. (b) pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda ditempat yang berbeda., misalnya ‘calingcing’ dan ‘calingcing’ atau dapat disebut juga perbedaan semasiologi yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk konsep yang berbeda. Jadi, sangat jelas kedua istilah ini sangat diperlukan dalam ilmu dan kajian semantik.
4.      Soal nomor 5
Relevansi teori “speech act” dengan ilmu semantik dijabarkan sebagai berikut, Austin berpendapat bahwa mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu. Bahasa dapat digunakan untuk membuat sesuatu kejadian. Oleh karena itu, kebanyakan ucapan memiliki daya ilokusi. Austin juga memberikan perbedaan antara perbuatan lokusi, ilokusi, dan perlokusi sebagai berikut :
a. Lokusi dari suatu ucapan ialah makna dasar dengan referensi dari ucapan itu.
b. Ilokusi dari suatu ucapan ialah daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai suatu perintah, ejekan, keluhan, pujian dan sebagainya.
c. Perlokusi dari suatu ucapan adalah hasil dari apa yang diucapkan pada pendengarnya.
Untuk memahami tindak lokusi, ilokusi, perlokusi di bawah ini adalah contohnya:
“bajumu cantik sekali” dari sudut lokusi kalimat ini menyatakan penggambaran keadaan baju pendengar dalam keadaan cantik sekali, dipandang dari sudut ilokusinya ucapan itu merupakan pujian bila memang benar baju pendengar cantik sekali, tetapi bila sebaliknya (bajunya jelek) maka ucapan itu menjadi ejekan atau pernyataan yang ironis. Perlokusi dari ucapan tersebut membuat pendengarnya gembira (untuk pujian yang mungkin diikuti dengan “ucapan terima kasih”) atau membuat pendengarnya sedih (untuk ejekan yang mungkin diikuti ucapan “ya begitulah”).Ucapan-ucapan dalam pertuturan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Ucapan yang mengandung kata yang menggambarkan daya ilokusinya disebut ucapan atau pertuturan langsung. Pengetahuan untuk menentukan makna disebut kaidah pertuturan.
Searle mengklasifikasikan tindak tutur berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke dalam 5 kelompok besar, yaitu :
a. Representatif : Tindak tutur ini mempunyai  fungsi memberi tahu orang-   orang mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan,, meminta, mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
b. Komisif : Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu misalnya, janji dan ancaman.
c. Direktif :  Tindak tutur ini berfungsi untuk membuat penutur melakukan sesuatu seperti saran, permintaan, dan perintah.
d. Ekspresif : Tindak tutur ini berfungsi mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terimakasih.
e. Deklaratif : Tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ‘Anda dipecat’, atau menikahi seseorang dengan mengatakan ‘Saya bersedia’.
Jadi, relevansi tindak tutur dengan ilmu semantik adalah setiap apa yang diucapkan memiliki tujuan untuk dilakukan dan di dalam tuturan itu terdiri dari simbol /lambang dan makna yang merupakan bagian dari ilmu semantik.
5.      Soal nomor 6
Dalam ilmu semantik teori Grice tentang “conversational maxim” perlu dibahas karena secara umum dapat dikatakan bahwa semantik berhubungan dengan makna yang didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya dan pragmatik berhubungan dengan makna yang didefinisikan dengan hubungannya dengan  penutur atau pemakai bahasa. Biasanya, kalau kita mengatakan sesuatu, terutama dalam percakapan, apa yang kita katakan mempunyai makna lebih dari kalimat itu. Contoh seperti berikut:
A : Kamu masih di sini.
B : Bis ke Bandung baru saja pergi.
Jika diamati  kedua kalimat percakapan tersebut, makna kalimat A terasa agak aneh. Mengapa A menyatakan sesuatu yang kebenarannya amat jelas ? (maksudnya jelas bahwa A melihat B berada di tempat itu, tentu hal ini tidak perlu dipertanyakan). Begitu juga halnya dengan si B menyebutkan tentang bis yang tidak dipertanyakan oleh si A. Dalam hal ini tentu ada kaidah yang memungkinkan kita menentukan makna apa yang ada di balik apa yang diucapkan dalam percakapan itu. Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik kepada peserta penutur, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh pembicara agar percakapan dapat berjalan dengan lancar. Kaidah-kaidah ini dalam kajian pragmatik, dikenal sebagai prinsip kerja sama.
Grice mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. 
Kaidah percakapan yang dikemukakan oleh Grice sebagai berikut :
a.                   Cooperative principle (prinsip kooperatif).
      Di dalam percakapan, sumbangkanlah apa yang diperlukan, pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.
b.                 Empat  maxim of conversation ( empat maksim percakapan ) :
1.                Maksim kualitas (maxim of quality) ; dalam percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar.
2.               Maksim kuantitas (maxim of quantity) ;  berilah keterangan secukupnya dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan.
3.                Maksim relevan (maxim of relevance) ; katakanlah hanya apa yang berguna atau relevan.
     Maksim cara berbicara (maxim of manner)  ; jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas, jangan mengatakan sesuatu yang ambigu, berbicaralah dengan singkat dan secara khusus.
Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaranya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Jika terdapat tanda-tanda bahwa satu maksim dilanggar, maka kita harus memutuskan bahwa ada sesuatu di balik apa yang dikatakan. Dapat disimpulkan bahwa, penuturlah yang menyampaikan makna lewat implikatur, dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar